Polaroid
Madzhab Abu Hanifah

abu hanifahNama lengkap beliau adalah Abu Hanifah al- Nu’man bin Tsabit bin Zautha at –Taimiy, dan terkenal dengan nama Abu Hanifah yaitu nama sewaktu masih kecil.

Abu Hanifah dilahirkan di Kufah, kota yang terletak di Iraq, pada tahun 80 H / 696 M dan meninggal di Kufah pada tahun 150 H / 767 M, bersamaan dengan tahun kelahiran calon ulama besar, yaitu Imam Syafi'i.

Kakek Abu Hanifah adalah Zautha yang berasal dari Kabul (Afganistan), yaitu tawanan perang, karena dia berperang melawan Utsman bin 'Affan sewaktu menaklukan persia.

Penaklukan tersebut bukan hanya dipersia tetapi sampai ke Khurasan dan Afganistan, sedangkan Zautha termasuk salah satu pembesar negara yang ditaklukkan oleh Utsman bin Affan dan beliau menjadi tawanan perang, akhirnya diserahkan kepada tentara Islam yang menang dalam peperangan tersebut. Setelah menjadi tawanan perang ia dijadikan budak dan akhirnya bebas dari budak karena telah masuk Islam.

Setelah dibebaskan dari perbudakan ia menetap di Kufah dan selanjutnya ia berdagan sutra di Kota Kufah dan lahirlah anaknya yang diberi nama Tsabit yaitu ayah Abu Hanifah.

Setiap orang dapat menjadi terhormat dan hamba Allah yang ta'at, tidak terikat dengan asal keturunan, misalnya budak atau bukan budak, tetapi ditetapkan oleh usahanya sendiri atau ilmu yang dimilikinya, maka Abu Hanifah sejak kecil sudah menunjukkan menuntut ilmu agama Islam.

Abu Hanifah adalah panggilan dari Nu'man Ibnu Tsabit bin Zautha. Dalam hal ini terjadi beberapa riwayat tentang panggilan Abu Hanifah, antara lain, yaitu :

a. Karena salah satu anaknya bernama Hanifah, maka Abu Hanifah berarti bapak dari Hanifah.

b. Dia adalah seorang yang sangat taqwa kepada Allah, dan prinsipnya tidak dapat digoyahkan, dia tetap berprinsip atau berpegang teguh dengan agama Islam. Dia tidak akan tergoyahkan oleh bujukan apapun yang diajukan kepadanya, baik itu menguntungkan terlebih lagi yang dapat merugikan dirinya. Misalnya dia akan diangkat menjadi pembesar dengan syarat Abu Hanifah lebih baik dia dipenjara daripada akan meninggalkan prinsipnya. Demikian kuat prinsip dari Abu Hanifah.

Dengan demikian Abu Hanifah berarti berasal dari kata "Abu" yang berarti hamba, dan "Hanifah" berarti cenderung. Dengan demikian Abu Hanifah berarti hamba Allah yang cenderung taat kepada Allah.

c. Karena paling cinta pada tinta untuk menulis, sehingga beliau dipanggil oleh guru dan teman-temannya dengan Abu Hanifah, karena Hanifah dalam bahasa Iraq berarti tinta, jadi Abu Hanifah berarti bapak tinta.

Terlepas dari keseluruhan panggilan terhadap Abu Hanifah tersebut, maka dia dipanggil Abu Hanifah karena sesuai dengan tingkah laku, perbuatan, ucapan, amalan dan ketekunannya serta cita-cita luhur yang dia miliki. Hal ini menurut orang-orang yang mengetahui hal itu sewaktu hidupnya, dimana hampir seluruh hidupnya digunakan untuk belajar dan mendalami agama Islam dan perlu diketahui bahwa Abu Hanifah ini semenjak kecil sampai dengan meninggal, berada dikota Kufah atau Iraq.

Sejak kecil ia belajar sebagaimana anak-anak yang berada dinegeri itu, dan ia mulai belajar membaca Al-Qur'an serta menghafalnya. Ia hidup dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga pedagang kain sutera dan keluarga yang taat melaksanakan ajaran-ajaran Islam.

Kakeknya sangat berkesan perjumpaannya dengan Sayyidina 'Ali, hal itu selalu diceritakannya kepada anak cucunya, termasuk kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah selalu mencontoh perbuatan Ali, hal itu terlihat pada jalan pikirannya dikemudian hari.

Sebelum Iraq dikuasai Islam, telah berkembang disana sebagai macam agama, yaitu Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu, Animisme, Dinamisme dan sebagainya.

Islam masuk ke Iraq mendapat bermacam-macam tantangan, namun berkat keuletan para ulama dan atas pertolongan Allah, pada akhirnya agama-agama selain Islam, kian hari kian punah. Selain itu, di Iraq merupakan tempat timbul bermacam-macam alirin-aliran filsafat, baik yang berasal dari Rumawi, Yunani dan dari negeri-negeri Barat lainnya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka terdapat beberapa faktor yang mendorong atau mempermudah Abu Hanifah untuk belajar mendalami agama Islam dan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu :

a. Dorongan dari keluarganya, sehingga Abu Hanifah dapat memusatkan perhatiannya dalam mempelajari atau mendalami ajaran Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, termasuk mempelajari bahasa Arab.

b. Keyakinannya yang mendalam tentang agama yang mendalam dikalangan keluarganya.

c. Kekagumannya terhadap tingkah laku serta ilmt pengetahuan yang dimiliki Sayyidina 'Ali, Umar dan Ibn Mas'ud.

d. Kedudukan kota Kufah, Basrah, dan Baghdad sebagai kota ilmu pengetahuan dan filsafat yakni kota tempat tinggalnya.

e. Kota Kufah, Bashrah, dan Baghdad juga merupakan kota pusat ilmu pengetahuan agama Islam.

Pada mulanya Abu Hanifah menuntut ilmu agama hanya sekedar untuk keperluannya sendiri, termasuk untuk berdagang, karena ia lebih suka membantu orang tuanya daripada menuntut ilmu. Namun pada suatu hari ia berjumpa dengan gurunya yaitu Amir bin Syarahil wafat tahun 104 H / 721 M. Dalam itu ia menceritakan kepada gurunya itu bahwa ia lewat dimuka rumah Asya'bi, beliau sedang duduk-duduk, lalu saya dipanggil dan ditanya, apakah kesibukanmu ; saya menjawab ke pasar, lalu ditanya mengapa tidak ke ulama ; Jawabnya saya tidak pergi ke ulama, kemudian beliau mengatakan "Jangan sekarang pergi kepasar, pergilah ke ulama, sesungguhnya saya melihat engkau ada harapan."

Dalam hal ini Abu Hanifah mengatakan bahwa ia berkesan atas hasil perjumpaannya dengan Asy-Sya'bi itu, kemudian saya tinggalkan berdagang dan mulailah menuntut ilmu. Dengan demikian sejak saat itulah Abu Hanifah mulai menuntut ilmu dan yang mula-mula dipelajarinya adalah ilmu kalam dan mengadakan diskusi dengan ulama-ulama yang beraliran ilmu kalam. Seperti dengan orang-orang yang beraliran Mu'tazilah, Syi'ah, Khawarij dan Maturidiyah.

Abu Hanifah tidak segan-segan mencurahkan tenaga, pikiran dan bahkan harta benda untuk membiayai keperluan berdiskusi. Dan Abu Hanifah sering pergi ke kota Iraq lainnya untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Setelah mendalami ilmu kalam barulah ia beralih mempelajari ilmu fiqh,dengan cara mendatangi ulama-ulama ahli fiqh dari bermacam-macam aliran.

Ada 4 sahabat Rasul yang sangat berkesan bagi Abu Hanifah dan yang ikut mempengaruhi pokok-pokok pikiran atau jalan pikiran dari Abu Hanifah. Ke 4 sahabat itu ialah :

1. Umar bin Khathab, Abu Hanifah tertarik kepada metode Umar dalam menetapkan hukum dengan menggunakan Kemaslahatan Umat.

2. Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah terkesan kepada Ali dalam memahami hakekat Islam, dan pengamalan-pengamalannya secara sungguh-sungguh.

3. Abdullah Ibnu Mas'ud, Abu Hanifah berkesan dengan ketekunannya dalam mempelajari dan mendalami ajaran islam.

4. Abdullah Ibnu Abbas, Abu Hanifah berkesan atas metodenya mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an dan dari Abdullah Ibnu Abbas inilah Abu Hanifah mendapat ilmu pengetahuan Al-Qur'an dan cara-cara menafsirkannya.

Dalam hal ini Abu Hanifah pernah dituduh bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya menggunakan akalnya saja. Tuduhan tersebut disampaikan kepada Khalifah Abu Ja'far Al Mansur (Khalifah Abbasiyah), dengan tuduhan itu Abu Hanifah dipanggil untuk menghadap Khalifah, dan Khalifah menanyakan antara lain "Darimana ilmu itu diperolehnya" jawaban Abu Hanifah bahwa ilmu itu diperolehnya dari sahabat Nabi yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas'ud dan Abdullah Ibnu Abbas, sahabat-sahabat tersebut merupakan ulama yang jauh melebihi kepandaiannya. Mendengar jawaban Abu Hanifah itu, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur merasa puas dengan mengatakan, aku percaya kepadamu.

Diantara guru Abu Hanifah adalah Muhammad bin Abi Sulaiman, wafat tahun 120 H, dan Abu Hanifah belajar kepadanya selama 12 tahun.

Setelah gurunya itu wafat, Abu Hanifah yang menggantikannya sebagai guru, sesuai dengan wasiat gurunya itu. Dengan demikian Abu Hanifah mulai jadi guru sejak tahun 120 Hijriyah. Didalam mengajar Abu Hanifah menggunakan metode yang ada didalam Al-Qur'an, dengan sungguh-sungguh meyakininya, maka muncullah murid-murid Abu Hanifah yang ternama, seperti Imam Syafi'i.

Imam Syafi'i pernah berkata bahwa para ahli fiqh sesudah Abu Hanifah adalah berasal dari Ilmunya Abu Hanifah. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya, ia pergi ke Mesir, Makah, dan Madinah guna menambah wawasannya tentang Islam.

Pada tahun 130 Hijriyah, Abu Hanifah berangkat ke Mekah dan menetap disana selama 6 tahun, selama di Mekah beliau mengadakan diskusi atau musyawarah dengan para ulama terkemuka waktu itu. Demikian juga beliau bertemu dengan ulama Syi'ah, Zaidiyah, yakni ulama hadits, sehingga beliau dapat mengadakan tukar pikiran dengan mereka itu, juga Ja'far Ash-Shidqi.

Selain itu, beliau berjumpa dengan muridnya Ibnu Abbas yang kemudian diajaknya pergi ke Madinah yang bernama Ja'far Ash-Shidqi untuk mengadakan tukar pikiran dengannya. Setelah beliau pulang dari Mekah dan Madinah beliau tetap mempelajari ilmu pengetahuan agama, beliau sangat menghagai pendapat orang lain walaupun bertentangan dengan pendapatnya, karena perbedaan pendapat merupakan rahmat Allah.

Sikap Abu Hanifah Terhadap Penguasa

abu hanifahAbu Hanifah hidup pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasty Amawiyah dan meninggal pada masa Khalifah Ja'far Al-Mansur dari dinasty Abbasiyah. Dengan demikian Abu Hanifah dapat menyaksikan kejayaan dinasty Amawiyah yang digantikan oleh dinasty Abbasiyah, hal ini berarti dia sempat menghormati keluarga Nabi Saw dan Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya; walaupun demikian ia tetap menolak suatu jabatan yang diberikan padanya, baik yang berasal dari keluarga Nabi, Ali, maupun dari keturunan lainnya.

Misalnya sewaktu Yazid bin Amr bin Hurarah Al-Fazrari yang menjabat gubernur Iraq, Abu Hanifah menolak tawaran yang diberikan gubernur kepadanya, yaitu jabatan kepala Baitul Mal juga menolak tawaran untuk menjadi Qadhi.

Dengan demikian gubernur marah dan mengawasi tingkah laku Abu Hanifah serta akan menghukum dengan pukulan atau penjara apabila menolak tawaran itau, akan tetapi Abu Hanifah tetap menolak dan bahkan bersumpah bahwa dia tidak akan menerima tawaran dari gubernur untuk menerima jabatan di pemerintahan, meskipun ia dibunuh oleh gubernur.

Pada suatu hari gubernur memanggil para ulama, yaitu Ibnu Abi Laila, Ibnu Syibrimah, Daud bin Ali Hiddan dan Abu Hanifah, tetapi Abu Hanifah tidak datang dan gubernur bermusyawarah dengan para ulama itu serta mengangkat Abu Hanifah untuk menduduki jabatan kepala kantor gubernur, kedudukan tetrtinggi masa itu, dan seandainya ditolak, maka Abu Hanifah akan dihukum pukul (jilid), kemudian ketiga ulama itu menjumpai Abu Hanifah menyampaikan informasi yang telah ditetapkan oleh gubernur. Mendengar hal itu Abu Hanifah tetap menolak dan karena sikap tersebut, gubernur memerintahkan untuk menangkapnya dan diberi hukuman pukulan serta dipenjara. Akan tetapi berkat bantuan dari petugas penjaga penjara itu, pada tahun 130 Hijriyah Abu Hanifah dapat meloloskan diri dan kemudian pergi ke Mekah untuk masa 6 tahun, barulah dia kembali ke Iraq, setelah kerajaan Amawiyh runtuh dan beralih kepada kerajaan Abbasiyah, Abu Hanifah merasa senang.

Kemudian terjadi peperangan antara Khalifah dan pengikutnya dengan Abbas serta pengikutnya. Dengan kejadian itu Abu Hanifah membenci pemerintah, sehingga ia menolak semua tawaran dari Khalifah untuk duduk dalam pemerintahan.

Khalifah Abbasiyah Ja'far Al-Mansur memaksa Abu Hanifah agar menerima jabatan Qadhi yang diberikan padanya, namun Abu Hanifah tetap menolak yang akhirnya dia dipenjarakan. Jadi Abu Hanifah tetap menolak semua tawaran untuk menduduki jabatan di pemerintahan, walaupun dia menderita karena disiksa atas penolakannya itu.

Madzhab Abu Hanifah

abu hanifahAbu Hanifah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, antara lain adalah beliau ahli dalam bidang ilmu Kalam, ilmu-ilmu Al-Qur'an, Ilmu Hadits, menguasai bahasa Arab dan Ahli dalam bidang Fiqh.

Ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan Madzhabnya yang paling masyhur adalah Ilmu Fiqh dan diantara muridnya yang terkenal dapa memahami ilmu beliau adalah :

a. Abu Hanifah meninggal tahun 150 Hijriyah.

b. Imam Ahmad bin Hasan meninggal tahun 189 Hijriyah.

c. Imam Hasan bin Ziad meninhal tahun 204 Hijriyah, murid-murid beliau inilah yang mengembangkan Madzhab Abu Hanifah.

Dalam usahanya mengembangkan madzhab Abu Hanifah, maka kitabnya dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :

1. Tahap pertama dinamakan Masailul Fiqh

2. Tahap kedua dinamakan Masailul Nawadir

3. Tahap ketiga dinamakan Al-Fatawa Al-Waqi'ah.

Masailul Fiqh merupakan kitab kumpulan zazhirul riwayat, kitab ini berisi pendapat-pendapat Abu Hanifah yang terkumpul dalam satu kitab yang bernama kitab "Masailul Fiqh", sedangkan isinya memiliki riwayat yang diyakininya kebenarannya, karena diriwayatkan oleh murid-murid Abu Hanifah sendiri dan para sahabatnya.

Kitab tahap pertama ini lebih tinggi mutunya daripada kitab-kitab tahap kedua dan ketiga. Sedangkan kitab Zaahirul Riwayat yang dihimpun oleh Imam Muhammad bin Hasan itu, terdiri dari enam kitab, yaitu :

- Kitab Al-Mabsuuth

- Kitab Jami'ul Kabir

- Kitab Jami'ush Shagir

- Kitab As-Sairush-Shagir

- Kitab As-Sairul Kabir

- Kitab Az-Ziyadat

Pada abad IV Hijriyah, keenam kitab tersebut telah dikumpulkan oleh Al-Marwazi (al-Hakim Asy-Syahid) wafat tahun 334 H, dan kumpulan kitab tersebut dinamakan Al-Kaafi. Kemudian kitab Al-Kaafi disarankan atau diberi penjelasan oleh Muhammad bin Muhammad bin Sahal As-Sarkasi (wafat 490 H), yang dinamakan dengan kitab Al-Mabsuth.

Kitab "Al-Mabsuth" dihimpun oleh Muhammad bin Hasan yang memuat masalah-masalah agama yang dikemukakan oleh Imam Hanafi, disamping itu juga memuat pendapat-pendapat Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan yang berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Juga diterangkan perbedaan pendapat antara Imam Hanafi dengan Ibu Abu Laila. Kitab Al-Mabsuth diriwayatkan oleh Ahmad bin Hafsah Al-Kabir adalah murid Muhammad bin Hasan.

Dalam mengistimbathkan hukum Islam, pokok-pokok fikiran Abu Hanifah dapat diketahui melalui perkataannya, yaitu : sesungguhnya aku berpegang dengan kitab Allah, apabila aku mendapatkannya, tetapi seandainya tidak aku dapati, maka aku berpegang dengan sunnah Rasul dan atsar yang Shahih, yang berasal dari beliau dan telah terkenal dikalangan orang-orang yang tsiqah (adil dan kuat ingatannya). Seandainya tidak aku peroleh didalam kitab Allah dan sunnah Rasul, maka aku berpegang dengan perkataan sahabat yang aku setujui dan meninggalkan fatwa sahabat yang tidak aku setujui, kemudian tidaklah aku keluar dari fatwa mereka kepada fatwa selain mereka.

Apabila sesuatu persoalan telah sampai kepada Ibrahim, Sya'bi Hasan, Ibnu Sirin dan Sya'id Ibnu Musyayyab, maka akupun berhak melakukan ijtihad sebagaimana mereka berhak melakukan ijtihad.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pokok-pokok fikiran Abu Hanifah dalam menetapkan hukum sesuatu masalah, adalah :

1. Kitabullah (Al-Qur'an)

2. Sunnah Rasul dan atsar yang shahih lagi masyhur

3. Fatwa-fatwa para sahabat

4. Qiyas

5. Istihsan, kemudian adat yang berlaku dikalangan Umat Islam.

Disamping itu juga Abu Hanifah menetapkan hukum sebagai berikut :

- Petunjuk Lafadz (kata) yang umum yaitu qath'i selama belum ditakhshishkan

- Larangan (nahi) tidak mengakibatkan batalnya pekerjaan yang dilarang.

- Mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah

- Mutlaq dan muqayyad yang berbeda sebab hukumnya mempunyai dalalah sendiri-sendiri.

Demikian juga Abu Hanifah menetapkan syarat-syarat untuk menerima riwayat suatu hadits sbb :

1. Diriwayatkan oleh banyak orang

2. Telah diamalkan oleh ahli fiqh kenamaan

3. Diriwayatkan oleh seorang sahabat dihadapan sahabat yang banyak dan tidak seorangpun yang menyangkal riwayat itu.

4. Kabar ahad dapat dijadikan hujjah, jika perawinya seorang ahli fiqh.

Disamping hal tersebut diatas Abu Hanifah menggunajan qiyas dan istihsan sebagai dasar hujjah dengan seluas-luasnya, sehingga Abu Hanifah benar-benar ahli Ra'yu.

Meluasnya madzhab Abu Hanifah ini setelah beliau wafat, karena pendapatnya itu kembali dipelajari oleh murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya yang dekat. Dengan demikian perkembangan madzhab Hanafi menjadi meluas keseluruh penjuru umat Islam pada masa itu.

Diantara murid-muridnya yang terkenal dan mengembangkan madzhabnya adalah Abu Yusuf. Abu Yusuf selain mengembangkan madzhab Abu Hanifah, beliau diangkat menjadi menteri kehakiman oleh khalifah Harun Al-Rasyid dari dinasty Abbasiyah.

Madzhab Hanafi berkembang di Asia Tenggara, Mesir, Afrika Utara, Asia Kecil sampai Timur India.

Di Mesir madzhab Hanafi semakin maju dan terkenal setelah Khalifah Al-Mahdi mengangkat Qadhi dari seorang yang bermadzhab hanafi. Kemudian madzhab Hanafi berkembang di Syria, Afghanistan, Kaukasus, Turki sampai ke India dan Pakirtan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa metode yang diterapkan oleh Abu Hanifah adalah hikmah dan kebijaksanaan. Dan kemudian madzhab ini dijadikan perundang-undangan kerajaan islam. Misalnya diterapkan oleh Khalifah-khalifah dari kerajaan Abbasiyyah.

¤ Sekian Adanya ¤

Rujukan :

- Tarekh al-Fiqh al-Islamiyah

- Riyadush Shalihin

- Sejarah Keagungan Madzhab Syafi'i

- Kitab Madzhab Hanafi diatas

اوليه ‏مديس ألبتاوى

www.majlas.yn.lt

Share dan Komentar
free blog template

Cantik itu relatif
Tampan itu relatif
Pintar itu relatif
Bodoh itu relatif
Kaya itu relatif
Miskin juga relatif
Karena memang diatas langit masih ada langit

Sponsor

Recent Comments

Search

Do'a this blog

"Ya Allah jadikanlah hatiku cahaya, pada mataku cahaya, pada pendengaranku cahaya, dikananku cahaya, dikiriku cahaya, diatasku cahaya, dibawahku cahaya, didepanku cahaya, dibelakangku cahaya, dan jadikanlah aku cahaya." amiin. (HR BUKHARI).

Valid XHTML 1.0 Transitional Valid CSS!
This template downloaded form free website templates