Ring ring

1

Pandangan Islam Tentang Bid'ah Hasanah(baik)


Bismillah

Bid'ah lagi bid'ah lagi...!!! Seakan-akan ruang lingkup yang mencakup amal kebaikan semakin di persempit. Manusia berbuat amal baik malah disalahkan dan sesat....!!!

"Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah) kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan (sunnah)kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga ". (HR.Muslim).

Bid'ah itu Apa saja yang baru ' disebut dengan nama Bid'ah. Ada orang berpegang pada satu dalil saja yaitu sabda Rasulallah saw.( Kullu bid'atun dhalalah ) " Kemudian orang itu beranggapan Setiap bid'ah adalah sesat..." , yang tidak ada istilah bid'ah hasanah, bid'ah wajib, bid'ah sunnah, bid'ah mubah, dan sebagainya. Setiap amal ibadah selalu dikategorikan sebagai bid'ah, hukumya haram, karena bid'ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak. Dan tuduhan itu sudah mengklaim dengan pasti kalau semua orang yang melakukan bid'ah akan masuk neraka, seakan-akan dia sendiri yang merasa benar dan sorga balasannya.

Bagaimana dengan para sahabat, istri-istri Nabi Saw yang sepeninggalna Rosulullah Saw yang melakukan bid'ah? Apakah mereka juga pun di klaim sebagai penghuni neraka?..... Seharusnya dalam hal memahami sebuah hadits perlu di tunjang dengan ilmu-ilmu Furu' (cabang ilmu), Ijma, Qias, dan jangan memahami makna/arti hadits itu hanya dalam satu pandangan saja, yang menyempitkan akal dan ilmu-ilmu hukum lainnya. Kemudian karena sempitnya ilmu yang akhirnya langsung memfonis perbuatan bid'ah adalah dholalah/sesat.

Ada banyak hadits- hadits lain yang membuktikan sikap Rasulallah Saw, yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah beliau saw.! Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang diamalkan oleh isteri Nabi saw. 'Aisyah ra., Khalifah 'Umar bin Khattab ra serta para sahabat lainnya setelah wafatnya Rasulallah saw. yang amalan-amalan ini tidak pernah ada petunjuk dari Rosulullah Saw sebelumnya, dan mereka kategorikan sendiri bahwa amalan itu sebagai amalan bid'ah, dan tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid'ah itu adalah haram.

Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid'ah itulah para Imam dan ulama Fiqih membagi makna Bid'ah menjadi beberapa macam, misalnya :

Menurut "Imam Syafi'i" tentang pemahaman bid'ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.

Pertama, riwayat Abu Nu'aim; 'Bid'ah itu ada dua macam, bid'ah terpuji dan bid'ah tercela. Bid'ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid'ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid'ah yang tercela'.

Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi'i:

'Perkara-perkara baru itu ada dua macam:

1. perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur'an, Hadits, Atsar atau Ijma'. Inilah bid'ah dholalah/sesat.

2. adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid'ah yang seperti ini tidaklah tercela'.

Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi'i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu 'Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-'Arabiy. Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid'ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid'ah, namun dari segi ketentuan hukum syari'at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih.

Ada bid'ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.

Dan ada bid'ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima". Seperti diungkapkan oleh ulama-ulama pakar seperti :

- Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii 'Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih;

- Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho' ;

- Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa'id ;

- As-Syaukani dalam Nailul Author ;

- Ali al Qoori' dalam Syarhul Misykaat;

- Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori. dan masih banyak lagi ulama lainnya yang sama dengan beliau ini.

Ada beberapa golongan menganggap semua bid'ah itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bid'ah hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri membagi bid'ah menjadi beberapa macam.

Ada bid'ah mukaffarah (bid'ah kufur),

bid'ah muharramah (bid'ah haram)

dan bid'ah makruh (bid'ah yang tidak disukai).

Mereka tidak menetapkan adanya bid'ah mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syari'at, atau seolah-olah bid'ah diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.

Contoh dan Macamnya Bid'ah

Menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul "Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif", bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154-pen.) bid'ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :

1. Bid'ah Wajib; contoh menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu. Dll

2. Bid'ah Mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan. Dll

3. Bid'ah Makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur'an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.

4. Bid'ah Mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.

5. Bid'ah Haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari'at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari'at.

Bila semua bid'ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. Berarti semuanya dholalah atau haram, misalnya :

a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur'an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.

b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma'mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : 'Bid'ah ini sungguh nikmat'.

c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti ; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.

d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit-rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah langsung diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.

e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum'at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman Ibnu Affan. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum'at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.

f). Menata ayat-ayat Al-Quran dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu'nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.

g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw... Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi Saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.

Masih banyak lagi contoh-contoh bid'ah/masalah yang baru seperti mengadakan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi'in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.

Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid'ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, dan mempersempit manusia untuk beramal baik.

Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah Saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari'at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka hal tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid'ah tercela.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha'us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad Saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.

Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung 'Arafah sebelum wukuf dipadang 'Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah, mengusap-usap mimbar Nabi Saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya. Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semuanya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak amal kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan itikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan : "Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya". (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).

Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (do'a perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. 'Aisyah ra. Yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi Saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid'ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid'h dholalah/sesat. Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti 'Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : "Saya bersama Abullah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat 'Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar 'Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada 'Abdullah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : "Bid'ah". 'Aisyah ra seorang isteri Nabi Saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi Saw tidak mengamalkannya. Begitu juga 'Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha dalah bid'ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid'ah itu bid'ah haram, dholalah/sesat yang pelakunya akan dimasukkan keneraka......... !

Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid'ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid'ah tapi sebagai bid'ah al-Hasanah. Semuanya Ini dalam pandangan hukum syari'at bukan bid'ah melainkan sunnah MUSTANBATHAH yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.

Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul "Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif" tersebut disebutkan : Yang dikatakan oleh orang fanatik. Bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar'i (Rasulallah Saw.) menyebutnya bid'ahtul hadyi (bid'ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.

Firman Allah swt. "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung". (QS.Ali Imran (3) : 104). Allah swt. berfirman : "Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan". (Al-Hajj : 77) Abu Mas'ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.; "Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya". ( HR. Muslim ) Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda: "Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun". Masih banyak lagi hadits yang serupa diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas'ud Ra.

Sebagian golongan memberi ta'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah ; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah Saw. dan para Khulafa'ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah Saw dan Khulafa'ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan tak'wil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.

Rasulallah saw. yang menyuruh ummatnya agar senantiasa berpegang pada sunnahnya dan sunnah para Khulafa'ur Roosyidun sepeninggal beliau saw.: "Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku". (HR.Abu Daud dan Tirmidzi). Yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah thariqah yakni jalan, cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus. Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah Saw saja, tetapi dapat diartikan lebih luas berdasarkan makna hadits yang lain : "Para ulama adalah ahli-waris para Nabi ". Dengan demikian maka dapat berarti pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi'in, Tabi'it-Tabi'in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur'an surat An-Nisa : 63 : "Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)".

Para alim-ulama bukan kaum awam yang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. alulama'u waritsatul anbia" mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas'ud ra. menegaskan : "Allah telah memilih Muhammad Saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ". Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hambal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik). Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas, yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid'atin dholalah (semua bid'ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid'ah itu antara penggunaannya yang syar'i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak fahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid'ah yang syar'i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari'at. Jadi bukan terhadap bid'ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.

Bid'ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang disebut bid'ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari'at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.

Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah Saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid'ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang 'am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid'ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid'ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.

Orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid'ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan ? Sudah tentu Tidak ! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.

Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan.

Jangan mudah memfonis suatu hukum itu tanpa ada pendalaman makna dalil-dalil yang sudah di hafal. Kebenaran yang mutlaq dan hakiki hanya milik Allah. Semoga bermanfaat. Amin.



Sumber : muthola'ah maaf ane lupa websitenya
Bagikan

Oktober 11, 2011

Rosulullah SAW (ta'aruf)

Perkembangan Islam Masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq

Abu Bakar As-Shiddiq terpilih
sebagai Khalifah pertama yang
secara Demokratis pada tahun
632 Masehi. Dan diantara
perkembangannya yaitu :
1. Pemberantasan Gerakan Nabi Palsu
2. Pemberantasan Kaum Murtad. (.....)Selanjutnya.........

Perkembangan Islam Masa Khalifah Umar bin Khatab

Umar Ibnu Khattab adalah
Khalifah kedua setelah Abu Bakar
As-Shiddiq. Pengangkatan Umar
Ibnu Khattab sebagai khalifah
yaitu tunjukan dari Abu Bakar
As-Shiddiq yang mana Umar Ibnu Khattab lah yang pantas
menggantikan posisi Abu Bakar.
penaklukan syria dan
palestina Sebelum masuk ke
wilayah
kekuasaan Islam. (.....)
Selanjutnya...........

Perkembangan Islam Masa Khalifah Usman bin Affan

Usaha pengumpulan Al-Qur'an
menjadi satu Mushaf merupakan
kelanjutan dari usah sebelumnya,
terutama pada khalifah pertama
dan kedua. Pada tahun 26 Hijriah
Khalifah Usman Ibnu Affan mengonsentrasikan pada upaya
penulisan Al-Qur'an dengan
membentuk panitia penulisan dan
pembukuan Al-Qur'an yang
diketuai oleh Zaid Ibnu Tsabit.(.....)
Selanjutnya...........
2024-04-20
Hits on
css
KOMENTAR